Sunday, July 26, 2020

Tragedi Pendakian Gunung Sumbing Jalur Baru Via Garung

Pendakian ke Gunung Sumbing ini sebenarnya sudah sekitar 10 tahun yang lalu, sekitar bulan November 2009. Dengan beranggotakan 5 orang (Ganjil) termasuk saya, dan 4 orang lainnya yaitu, Ardi, Didin, Fandi, dan Ikrom. Berangkat dari kota kelahiran di Purbalingga, Jawa Tengah dengan menggunakan motor ke basecamp Garung, Wonosobo. Rencana awal hanya berempat, saya, Ardi, Didin dan Fandi. Hingga akhirnya saat hari H akan berangkat, kami kekurangan alat pendakian sehingga cari pinjaman ke teman.

Dari temen tersebut pun kami mendapatkan pinjaman peralatan yang kurang, nah saat itu juga teman yang meminjamkan alat tersebut pun minta ikut pendakian yang kami lakukan ke Gunung Sumbing Via Garung. Karena Ikrom teman kami ini ikut, sehingga anggota tim pendakian saat itu menjadi 5 orang (Ganjil).

Gunung Sumbing Jalur Baru Via Garung

Penasaran dengan kata (Ganjil) yang sering disebutkan di atas? :D
Baiklah, itu akan menjadi salah clue untuk cerita selanjutnya di bawah, saat kami melakukan pendakian di Gunung Sumbing via Garung di jalur baru ini. Seperti biasa sebelum melakukan pendakian, kami rencanakan pendakian saat itu dengan detail. Rencana awal kami berangkat Sabtu siang menggunakan motor dan pulang kerumah Minggu malam.

Manusia pun hanya bisa membuat rencana dan Tuhan yang menentukan. HAHA
Kami berangkat Sabtu sore, 4 orang berboncengan menggunakan sepeda motor dan 1 orang sendirian menggunakan sepeda motor juga. Sampai basecamp Garung sekitar waktu Maghrib, istirahat untuk sholat, persiapan packing yang kami rencanakan langsung tracking setelah Isya.
Mohon maaf sebelumnya pada postingan kali ini harap maklum kalau gambar foto kebanyakan ngeblurr, maklum tahun 2009 masih kismin jadi pakai kamera hp yang masih symbian :D.

Kami pun mulai melakukan pendakian ini dengan jalur baru yang masih alami, karena saat itu menurut petugas basecamp kalau jalur lama sedang perbaikan. Kira-kira peta untuk jalur baru tersebut seperti dibawah ini.

Jalur baru setelah dari pemukiman penduduk melalui jalur sebelah kanan dari jalur lama, dan nantinya akan bertemu 1 jalur lagi di percabangan Pestan. Di awal pendakian setelah melawati pemukiman warga, jalur akan sedikit menanjak dan masuk ke hutan bambu yang rimbun.
Perjalanan malam hari pun terasa berat karena kondisi jalur belum tahu bakal seperti apa di jalur baru ini. Salah satu teman ada yang kelelahan dan muntah-muntah setelah melewati hutan bambu, akhirnya kami putuskan untuk istirahat dahulu


Setelah melewati sungai kecil, tidak begitu jauh kami juga istirahat di Pos I dan terdapat gubug di pos ini. Melanjutkan perjalanan dengan kondisi track jalur yang lebih menanjak, pohon masih rimbun dan jalur kurang begitu terlihat jelas di malam hari. Hanya bisa mengira-ngira jalan mana yang bisa dilalui.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari, dengan target membuat camp di Pestan. Tapi sudah lama berjalan cukup lama belum terlihat juga pertigaan Pestan tersebut. Kondisi kami sangat lelah sekali dengan jalur baru yang track begitu menanjak dan perjalanan malam hari, akhirnya memutuskan mendirikan camp saat itu juga.
Karena di awal hanya untuk anggota pendakian 4 orang, dome yang dibawa pun berukuran 4 orang. Kami ber3 ada yang istirahat di dalam dome, dan 2 orang diluar dome menggunakan matras dan sleeping bag.

Pagi hari pemandangan dari tempat camp sangat luar biasa, dengan view Gunung Sindoro. Membuat sarapan dan packing untuk melanjutkan perjalanan, begitu terkejutnya malihat jalur yang masih alami dan sangat menanjak karena sangat terlihat di pagi hari. Maklum saja pada saat malam hari jalurnya begitu membingungkan.

Cuaca sangat begitu cepat berubah yang tadi pagi cerah menjadi mendung dan berkabut. Sebelum waktu Dzuhur, kami sampai di Pestan. Angin sangat kencang jika semalam kami jadi mendirikan camp disini, lanjut perjalanan ke atas sampai di Pasar Watu. 
 
Di Pasar Watu dengan kondisi jalan berbatu-batu dan sangat melelahkan. Kami yang masih memakai carrier lengkap di punggung, memutuskan untuk meninggalkan terlebih dahulu barang bawaan dan hanya membawa backpack untuk membawa logistik serta mantel hujan karena kondisi cuaca mendung. Tas carrier yang ditinggal diantara semak-semak dan batu dengan ditutupi mantel. Kondisi sangat sepi dengan pendaki yang sedikit membuat dan cuaca masih mendung berkabut tebal, membuat perjalanan terasa sunyi seakan kami berlima yang ada di Gunung Sumbing ini.

Sampai di Watu Kotak langsung hujan deras, kami putuskan untuk istirahat di bawah tebing sampai menunggu hujan agak reda. Beralaskan mantel hujan, tak terasa juga kami tertidur beberapa saat, hujan masih deras dan sangat sepi tidak ada terlihat pendaki lain yang lewat naik maupun turun.

Hujan agak sedikit reda, kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan naik sampai puncak dengan jalan yang masih licin karena hujan dengan memakai mantel hujan. Kabut masih tebal menyelimuti sekitar kami, dan akhirnya sampai puncak juga di Puncak Buntu, walaupun masih berkabut dan pemandangan tidak begitu jelas.

Tragedi Saat Turun Gunung Sumbing

Karena cuaca sangat tidak memungkinkan untuk berlama-lama di puncak, kami pun putuskan untuk turun dengan niat langsung menuju basecamp pendakian Garung dengan angan-angan makan nasi goreng pesan di warung basecamp :D.
Perjalanan turun dari dengan diselimuti hujan rintik-rintik sehingga jalan yang berbatu menjadi sangat licin jika tidak hati-hati. Cuaca masih sama berkabut sampai kami mengambil kembali carrier yang ditinggal di Pasar Watu.

Saat sampai di Pestan sekitar sore menjelang waktu maghrib, berpapasann dengan sekelompok yang sedang mendaki. Tapi anehnya mereka hanya membawa perlengkapan seadanya dan tidak terlihat seperti pendaki lain saat mendaki gunung.
Pikiran kami hanya positif saja, mungkin warga setempat yang naik ke puncak menjelang waktu Maghrib atau pendaki yang sudah membuat camp di bawah Pestan. Tapi setelah melewati Pestan, tidak ada satupun kelompok pendaki yang membuat camp disitu. Tapi kami tetap positif thinking, mungkin mereka warga setempat yang lewat jalur lama. -___-

Kami terus meneruskan perjalanan setelah melewati Pestan, masuk waktu Maghrib dan suasana pun seperti di film-film horor. ☹ Langit senja mulai redup dan cuaca masih hujan rintik-rintik berkabut, istirahat sejenak untuk sholat Maghrib dan makan cemilan. Pergantian waktu dari terang menjadi gelap diselimuti sedikit rintikan air hujan yang masih turun, berjalan dengan perlahan, setapak demi setapak berjalan turun di jalan bertanah yang licin.

Senter hanya 2 yg masih menyala terang, karena sudah dipakai semalaman perjalanan di malam pertama. Saya di urutan paling depan dengan membawa senter dan senter satunya di teman yang paling belakang. Mungkin untuk sebagian besar pendaki pasti akan sangat down fisik dan mental jika cuaca saat pendakian tidak bersahabat dan juga tracking yang begitu berat. Perjalanan turun yang sangat terasa lebih lama dibanding waktu mendaki semalam, mungkin ini jadi awal firasat kurang baik untuk sesuatu tragedi yang terjadi pada perjalanan turun gunung Sumbing ini.

Kami berlima berjalan dengan hati-hati karena jalanan licin dan penerangan senter hanya ada di paling depan dan belakang. Cuaca berubah menjadi dingin, setelah memasuki hutan lamtoro, pandangan sekitar sangat gelap. Suara daun-daun lamtoro saling bertabrakan terkena angin, sesekali terdengar suara burung (kurang paham suara burung jenis apa). Kondisi fisik dan mental sudah sangat down, karena terasa perjalanan turun gunung ini lebih lama dibanding saat naik.
Posisi saya berada paling depan juga sangat membuat jantung seakan mau copot jika tiba-tiba ada yang nongol didepan -__-

Coba bayangkan saat perjalanan turun terasa lama daripada saat mendaki, dan ditambah saat itu pohon yang sama di sebelah kiri terlihat beberapa kali saat dilewati. Apakah ini wajar? seakan-akan hanya berputar-putar ditempat yang sama. Dan dijalur ini dahulu ada seorang pendaki yang gugur di sini dengan ditandai batu “in memoriam” tepat saat kami mengalami kejadian aneh ini.

Setelah kejadian aneh melihat pohon yang sama di sebelah kiri secara berkali-kali, saya ajak teman-teman yang lain untuk berjalan lebih cepat karena ada sesuatu yang tidak beres. Dan betapa mengejutkan lagi saat bilang ke yang lain untuk berjalan lebih cepat dengan menengok kebelakang. Terlihat sesosok pendaki dengan membawa tas carrier lain dibelakang rombongan paling belakang, membuat rombongan kami menjadi genap yang awalnya 5 orang menjadi genap 6 orang ☹.

Saat itu pun langsung bulu kuduk berdiri semua, apalagi salah satu teman bilang ingin membuat camp lagi disitu. Dan posisi saya belum cerita apapun tentang hal tersebut, sampai hampir terjdi keributan dan akhirnya paksa mereka untuk cari tempat untuk camp lebih bawah dengan berjalan lebih cepat.

Sambil melanjutkan perjalanan turun, dengan terus membaca ayat Kursi dan Istighfar, pohon yang terlihat berkali-kali sudah tidak terlihat lagi. Akan tetapi belum berani melihat ke arah belakang lagi gaess. -___-

Dan pada akhirnya sampai di pos yang ada gubug saat perjalanan naik, langsung kami dengan cepat membuat camp disitu untuk menginap semalam lagi. Saat malam pertama tenda dome hanya muat 3 orang, tapi kali ini kami berlima masuk semua kedalam, dengan perlengkapan lain ditinggal diluar.
Istirahat dan tidur terasa sangat nyaman seperti dirumah sampai tidak terasa sudah pagi. Dengan kondisi kacau diluar karena semalam sangat tergesa-gesa mendirikan tenda dome.

Singkat cerita setelah membuat sarapan dan packing, kami melanjutkan perjalanan ke basecamp pendakian. Motivasi saat di puncak untuk turun cepat ke basecamp untuk makan nasi goreng pun sudah tidak ada minat lagi dan setelah bersih-bersih, kami langsung pulang ke rumah di Purbalingga. Untuk pendakian kedua ke gunung Sumbing pada tahun 2015, dengan rute jalur lama akan saya share di postingan berikutnya gaesss. Suwun 😊