Thursday, April 13, 2017

Pengertian dari Hadiah Nobel

Hadiah Nobel

Setiap tanggal 10 Desember Stockholm menjadi perhatian dunia. Di kota yang dingin tersebut, puluhan ilmuwan kelas dunia berkumpul untuk menyaksikan pemberian hadiah Nobel kepada para ilmuwan yang dinggap telah berjasa memberikan kontribusi penting dalam perkembangan sains. Setiap penerima hadiah Nobel tidak hanya mendapat imbalan finansial yang besar, tetapi juga tercatat namanya dalam sejarah dunia sains.


Tidak heran jika para ilmuwan dunia berlomba-lomba agar dapat masuk dalam catatan sejarah bergengsi tersebut. Sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 1901, Nobel telah menjadi ajang kompetisi sains yang keras dan tidak jarang penuh intrik.
Nobel memang menggiurkan karena memberi nama harum tidak hanya bagi penerimanya, tapi juga bagi negara asal pemenang hadiah tersebut. Telah lama para ilmuwan Indonesia memimpikan munculnya pemenang Nobel asal Indonesia. Perguruan tinggi seperti ITB secara diam-diam memiliki ambisi untuk melahirkan pemenang Nobel.

Upaya untuk mendapatkan Nobel juga dilakukan beberapa ilmuwan tanah air lewat berbagai cara. Bahkan ada yang mentargetkan hadiah Nobel pada tahun 2020. Dengan mengikuti berbagai olimpiade sains, mereka mengharapkan akan muncul bibit-bibit unggul ilmuwan Indonesia yang berkiprah dalam tingkat dunia.

Ambisi untuk mendapatkan hadiah Nobel didasarkan pada asumsi sekaligus harapan bahwa pemberian Nobel bagi ilmuwan Indonesia akan berdampak pada perkembangan sains di tanah air. Pandangan ini menurut saya salah kaprah. Nobel bukanlah sebab, melainkan akibat. Berhasilnya seorang ilmuwan mendapatkan Nobel adalah hasil dari bekerjanya institusi sains di mana ilmuwan itu berada.

Nobel bukan penghargaan yang diberikan seperti lomba balap karung. Artinya yang dinilai bukanlah karya yang dihasilkan semalam suntuk, melainkan melalui proses evaluasi atas seluruh hasil kerja sang ilmuwan dan dampaknya terhadap bidang yang digelutinya. Tidak heran jika penerima Nobel pada umumnya ilmuwan yang telah berkecimpung pada satu bidang tertentu selama puluhan tahun.
Dengan kata lain, karya yang berkualitas Nobel sangat tergantung pada proses berkarya sang ilmuwan. Di sini dapat dilihat bahwa sistem atau institusi sains di mana ilmuwan itu berada sangat berpengaruh dalam menentukan apakah seseorang ilmuwan mampu menghasilkan karya berkualitas Nobel atau tidak.

Mentargetkan hadiah Nobel memang tidak salah. Tetapi mungkin ini kedengaran sedikit lucu karena Amerika Serikat yang merupakan negara penerima hadiah Nobel terbanyak tidak pernah membuat target semacam itu. Bahkan perguruan tinggi ternama seperti MIT, Harvard, maupun Caltech tidak memiliki program khusus mendapatkan Nobel. Mereka banyak memiliki professor penerima Nobel karena sistem insentif dan kondisi yang kondusif yang dinikmati para peneliti di situ. Tidak jarang ilmuwan penerima Nobel justru tadinya bekerja di perguruan tinggi lain lalu pindah (tepatnya dibajak) ke salah satu perguruan tinggi ternama tersebut.

Siapapun akan bangga jika seorang ilmuwan Indonesia berhasil mendapatkan hadiah bergengsi tersebut. Tetapi ambisi mendapatkan hadiah Nobel hanya membelokkan kita dari realitas di mana yang perlu dibenahi terlebih dahulu adalah institusi sains itu sendiri. Sejenius apapun seorang ilmuwan jika dia berada pada sistem yang tidak kondusif maka Nobel hanyalah sebuah impian.
Karena itu akan jauh lebih penting jika perhatian terhadap sains di tanah air difokuskan tidak pada ambisi prestisius tetapi pada persoalan bagaimana institusi sains kita dapat bekerja baik dan memberikan kontribusi langsung bagi masyarakat.

Berbagai permasalahan ekonomi, sosial, dan kesehatan yang dihadapi Indonesia saat ini membutuhkan perhatian serius dari para ilmuwan kita. Dibutuhkan kesadaran para ilmuwan kita untuk mau berpikir secara pragmatis agar institusi sains kita mampu memberikan manfaat langsung bagi masyarakat luas. Bisa jadi inilah jalan yang paling tepat bagi ilmuwan Indonesia menuju Stockholm.